Agus Syarifudin
Setiap manusia
saat melakukan relasi sosial atau interaksi sosial haruslah memiliki
pengendalian diri yang baik. Hal ini
terkait dengan norma-norma yang berlaku.
Bagaimana perilaku individu sebagai entitas sosial dibatasi oleh
aturan-aturan tidak tertulis maupun aturan tertulis. Hal ini penting agar
terjadi hubungan timbal balik yang menguntungkan bagi kedua pihak yang
melakukan interaksi baik secara sosial dan ekonomi. Oleh karena adanya peraturan tersebut maka setiap
individu harus punya pengendalian diri atas segala perilaku yang berwujud saat
transaksi ekonomi dan atau relasi sosial dilakukan.
Pengaturan diri
ini dijaman digital pun diatur dengan ketat. Bagaimana perilaku haruslah sesuai
aturan yang berlaku di komunitas sosial itu berada. Semua norma-norma itu
membatasi tindakan perilaku yang merusak tatanan sosial yang ada. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati agar
semua perilaku yang dilakukan dapat menjadi normatif atau sesuai dengan norma.
Namun juga terkait dengan kebermanfaatan dari perilaku, maka perilaku yang
dimunculkan pun haruslah memiliki produk berupa karya ataupun suatu hal yang
memiliki nilai kebermanfaatan. Nilai yan
dapat menjadikan individu berguna di masyarakat dan dibutuhkan. Bahkan jika memungkinkan, nilai tersebut
miliki harga keekonomian dan menjadi nilai ekonomi yang tinggi.
Pengaturan diri
atau pengendalian diri dalam bahasa psikologi dan neuropsikologi dapat
dikatakan sebagai sebuah self-regulation. Pengendalian dan pengaturan diri ini dapat
didefinisikan sebagai kemampuan pengendalian segala bentuk perilaku yang berwujud.
Perilaku ini dapat berupa
perkataan, tutur bercerita secara tertulis baik secara digital maupun bentuk
tulisan lainnya. Kemudian pengendalian
dan pengaturan diri ini mengarahkan seseorang untuk mencapai tujuan, yaitu tujuan yang ia inginkan
dan dipenuhi saat berinteraksi dengan manusia lainnya di lingkungan. Hal ini juga berkaitan dengan proses penyesuaian
diri yang terkait dengan siapapun yang ada di lingkungan saat itu.
Dalam proses penyesuaian diri tersebut, seperti diungkapkan pada
paragraf sebelumnya, terdapat aturan-aturan dan batasan-batasan yang ada
dilingkungan atau masyarakat. Diharapkan
dari penyesuaian diri ini, maka individu dapat memenuhi dan mematuhi batasan
norma sosial yang ada terkait juga dengan konsekuensi yang terjadi baik secara
hukum adat, agama, pidana, perdata, dan produk hukum lainnya.
Menurut
Barkley (2011) defisnisi pengendalian diri dari perspektif psikologi di dasari
dari tiga komponen yaitu: Semua tindakan yang mengarahkan individu; Sebagai
hasil perubahan perilaku sebagai apa yang mereka lakukan; Sebagai bentuk
perubahan terhadap konsekuensi di masa depan dalam mencapai tujuan (Barkley,
2011). Persepektif ini hanya melihat bagaima individu dilihat secara
pribadi. Namun ditelaah lebih lanjut
bahwa hal ini juga terkait dengan fungsi bersosialisasi atau berinteraksi
dengan masyarakat ataupun orang lain.
Bagaimana arahan dari individu yang dilakukannya dapat bertinda normatif
dan produktif sehingga tidak akan mengganggu orang lain dan juga suatu
komunitas masyarakat. Kemudian dalam
berinteraksi sosial ini terjadi juga proses kompromi dan penyesuaian diri
sesuai tuntutan dan keinginan dari manusia lain dan juga komunitas sosial. Oleh
karena itu setiao individu harus bersifat lentur atau fleksibel dalam
bertranskasi dan berelasi sosial dengan siapapun agar dapat diterima oleh
berbagai pihak dengan tangan terbuka,
Karena dari setiap perilaku yang terjadi memiliki dampak akibat atau
konsekuensi bagi mereka yang melakukannya.
Berkaitan
dengan hal yang disebutkan pada paragraf sebelumnya, maka jelas dalam melakukan
hubungan sosial ataupun transkasi ekonomi, seorang individu harus memiliki
kemamuan untuk menahan diri yang dikaitkan dengan pengendalian diri. Bagaimana
dia mampu menahan olah pikiran yang aktif ataupun pasif dengan segala kelebihan
dan kekurannya. Selain itu juga bagaimana menahan emosi yang bergejolak ataupun
yang cendrung tenang namun memiliki kemampuan menghanyutkan yang dahsyat
ditahan dengan segala upaya agar menjadi produktif dan normatif. Dan terakhir
adalah bagaimana menahan perilaku yang berwujud apapun baik mimik wajah,
gerakan tubuh baik tangan dan kaki, perkataan tertulis dan terucap, posisi
tubuh, dan semua produk dari perilaku secara umum dapat dikatakan sebagai gesture harus dikendalikan dengan
paripurna.
Jika dikaitkan
dengan pembahasaan dalam fungsi sel saraf dan olah perilaku, olah pikir, dan
olah perasaan maka akan dihubungkan dengan fungsi menahan segala informasi dan respon terkait
informasi dari lingkungan atau disebut juga sebagai (inhibisi), fungsi kemampuan
untuk mengeksekusi prikiran, perassan dan perilaku di otak atau disebut dengan
fungsi eksekutif, daya ingat seseraoang terkaitkejadian masa lalu yang
dihubungkan dengan peristiwa saat ini, kelenturan dalam berpikir, penalaran, pemecahan
masalah yang dihadapi, dan perencanaan suatu
tindakan (MartÃnez, Prada, Satler, Tavares & Tomaz, 2016).
Terkait dengan
siswa yang putus sekolah dari sekolah formal, hal ini terjadi gangguan dalam
proses yang dijelaskan di atas.
Bagaimana seorang siswa tidak mampu mengikuti aturan yang ada di
sekolah.Terkait apapun itu bentuknya, keluarga pun memiliki andil dalam
pembentukan perilaku yang berwujud di sekolah.
Hal ini juga terkait tata kelola keuangan serta tata kelola perilaku
yang terkait dengan keilmuan sosial dan ekonomi sehingga siswa mampu
bersekolah. Jika seorang siswa dan keluarganya tidak memiliki kemampuan
berstrategi yang baik sehingga dapat bertahan di sekolah formal, maka dapat
dikatakan entitas sosial yaitu keluarga tersebut mengalami masalah. Hal tersebut menyatu dalam bentuk keluarga
yaitu ada orang tua dan anak.
Oleh karena itu
peran keluarga dalam pendidikan adalah penting.
Jangan dianggap sepele.
Pemerintahpun telah mengakomodir pendidikan di tingkatan keluarga dalam
bentuk pendidikan informal yang dilembagakan dalam pendidikan non formal. Oleh karena itu pendidikan di Indonesia sudah
mencakup pendidikan formal yaitu sekolah, pendidikan non formal yaitu
pendidikan kesetaraan dalam Paket A,B, dan C, serta pendidikan informal, yaitu
di dalam keluarga. Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya mengakomodir
keinginan dari masyarakat dan warga negaranya agar tidak ada anak tidak sekolah
(ATS).
Sehingga jika
ada anak yang putus sekolah karena ada masalah dalam pengendalian diri dan
pengaturan diri di sekolah formal, mereka tetap dapat bersekolah. Hal ini
penting karena mereka harus memiliki ijasah agar dapat memiliki nilai
kompetensi untuk bersaing di dunia kerja. Sangatlah naif jika bersaing di dunia
kerja tidak memiliki sertifikasi dan hanya mengandalkan keterampilan otodidak
saja. Karena lembaga formal baik perusahaan dan lembaga negara membutuhkan
sebuah surat atau sertifikat yang menyatakan kemampuan yang dimilikinya
memiliki standar baik secara nasional maupun internasional. Hal ini dilakukan pemerintah penting untuk
melindungi setiap warga negaranya yang ada di wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Oleh karena itu putus sekolah tidak menjadi alasan untuk
tidak bersekolah. Program pendidikan kesetaraan telah dilakukan dari puluhan
tahun lalu dan diakui setara dengan pendidikan formal dengan tingkatan SD, SMP,
dan SMA. Sudah saatnya ego pribadi dari
keluarga dipinggirkan. Meskipun bersekolah internasional namun jika tidak
tunduk dengan aturan negara, maka ijasah yang diperoleh tidak diakui oleh negara. Hal ini amat menyakitkan karena berbagai
lembaga pemerintah dan swasta meminta ijasah berstandar nasional dalam menerima
karyawannya. Jangan sampai ego sesaat
membuat buah hati sengsara di kemudian hari hingga mengeluarkan uang yang lebih
besar agar dapat bersekolah di tingkatan universitas di Indonesia dan atau
bekerja di lembaga pemerintah dan swasta.
Referensi
Barkley,
R. A. (2011). The important role of executive functioning and self-regulation
in ADHD. Diambil dari
www.russellbarkley.org/factsheets/ADHD_EF_and_SR.pdf,
Diakses 28 Maret 2017.
MartÃnez, L., Prada, E., Satler, C., Tavares
M.C.H., & Tomaz, C. (2016). Executive dysfunctions: The role in Attention
Deficit Hyperactivity and post-traumatic stress neuropsychiatric disorders. Front. Psychol., 7:1230. doi: 10.3389/fpsyg.2016.01230.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar