Jumat, 19 Juli 2019

PERMASALAHAN PENGENDALIAN DAN PENGATURAN DIRI DARI ANAK PUTUS SEKOLAH FORMAL


Agus Syarifudin

Setiap manusia saat melakukan relasi sosial atau interaksi sosial haruslah memiliki pengendalian diri yang baik.  Hal ini terkait dengan norma-norma yang berlaku.  Bagaimana perilaku individu sebagai entitas sosial dibatasi oleh aturan-aturan tidak tertulis maupun aturan tertulis. Hal ini penting agar terjadi hubungan timbal balik yang menguntungkan bagi kedua pihak yang melakukan interaksi baik secara sosial dan ekonomi.  Oleh karena adanya peraturan tersebut maka setiap individu harus punya pengendalian diri atas segala perilaku yang berwujud saat transaksi ekonomi dan atau relasi sosial dilakukan. 

Pengaturan diri ini dijaman digital pun diatur dengan ketat. Bagaimana perilaku haruslah sesuai aturan yang berlaku di komunitas sosial itu berada. Semua norma-norma itu membatasi tindakan perilaku yang merusak tatanan sosial yang ada.  Oleh karena itu, kita harus berhati-hati agar semua perilaku yang dilakukan dapat menjadi normatif atau sesuai dengan norma. Namun juga terkait dengan kebermanfaatan dari perilaku, maka perilaku yang dimunculkan pun haruslah memiliki produk berupa karya ataupun suatu hal yang memiliki nilai kebermanfaatan.  Nilai yan dapat menjadikan individu berguna di masyarakat dan dibutuhkan.  Bahkan jika memungkinkan, nilai tersebut miliki harga keekonomian dan menjadi nilai ekonomi yang tinggi.

Pengaturan diri atau pengendalian diri dalam bahasa psikologi dan neuropsikologi dapat dikatakan sebagai sebuah self-regulation. Pengendalian dan pengaturan diri ini dapat didefinisikan sebagai kemampuan pengendalian segala bentuk perilaku yang berwujud.  Perilaku ini dapat  berupa perkataan, tutur bercerita secara tertulis baik secara digital maupun bentuk tulisan lainnya.  Kemudian pengendalian dan pengaturan diri ini mengarahkan seseorang untuk mencapai tujuan, yaitu tujuan yang ia inginkan dan dipenuhi saat berinteraksi dengan manusia lainnya di lingkungan.  Hal ini juga berkaitan dengan proses penyesuaian diri yang terkait dengan siapapun yang ada di lingkungan  saat itu.  Dalam proses penyesuaian diri tersebut, seperti diungkapkan pada paragraf sebelumnya, terdapat aturan-aturan dan batasan-batasan yang ada dilingkungan atau masyarakat.  Diharapkan dari penyesuaian diri ini, maka individu dapat memenuhi dan mematuhi batasan norma sosial yang ada terkait juga dengan konsekuensi yang terjadi baik secara hukum adat, agama, pidana, perdata, dan produk hukum lainnya. 
       
Menurut Barkley (2011) defisnisi pengendalian diri dari perspektif psikologi di dasari dari tiga komponen yaitu: Semua tindakan yang mengarahkan individu; Sebagai hasil perubahan perilaku sebagai apa yang mereka lakukan; Sebagai bentuk perubahan terhadap konsekuensi di masa depan dalam mencapai tujuan (Barkley, 2011). Persepektif ini hanya melihat bagaima individu dilihat secara pribadi.  Namun ditelaah lebih lanjut bahwa hal ini juga terkait dengan fungsi bersosialisasi atau berinteraksi dengan masyarakat ataupun orang lain.  Bagaimana arahan dari individu yang dilakukannya dapat bertinda normatif dan produktif sehingga tidak akan mengganggu orang lain dan juga suatu komunitas masyarakat.  Kemudian dalam berinteraksi sosial ini terjadi juga proses kompromi dan penyesuaian diri sesuai tuntutan dan keinginan dari manusia lain dan juga komunitas sosial. Oleh karena itu setiao individu harus bersifat lentur atau fleksibel dalam bertranskasi dan berelasi sosial dengan siapapun agar dapat diterima oleh berbagai pihak dengan tangan terbuka,  Karena dari setiap perilaku yang terjadi memiliki dampak akibat atau konsekuensi bagi mereka yang melakukannya.
      
     Berkaitan dengan hal yang disebutkan pada paragraf sebelumnya, maka jelas dalam melakukan hubungan sosial ataupun transkasi ekonomi, seorang individu harus memiliki kemamuan untuk menahan diri yang dikaitkan dengan pengendalian diri. Bagaimana dia mampu menahan olah pikiran yang aktif ataupun pasif dengan segala kelebihan dan kekurannya. Selain itu juga bagaimana menahan emosi yang bergejolak ataupun yang cendrung tenang namun memiliki kemampuan menghanyutkan yang dahsyat ditahan dengan segala upaya agar menjadi produktif dan normatif. Dan terakhir adalah bagaimana menahan perilaku yang berwujud apapun baik mimik wajah, gerakan tubuh baik tangan dan kaki, perkataan tertulis dan terucap, posisi tubuh, dan semua produk dari perilaku secara umum dapat dikatakan sebagai gesture harus dikendalikan dengan paripurna. 

Jika dikaitkan dengan pembahasaan dalam fungsi sel saraf dan olah perilaku, olah pikir, dan olah perasaan maka akan dihubungkan dengan fungsi menahan segala informasi dan respon terkait informasi dari lingkungan atau disebut juga sebagai (inhibisi), fungsi kemampuan untuk mengeksekusi prikiran, perassan dan perilaku di otak atau disebut dengan fungsi eksekutif, daya ingat seseraoang terkaitkejadian masa lalu yang dihubungkan dengan peristiwa saat ini, kelenturan dalam berpikir, penalaran, pemecahan masalah yang dihadapi, dan perencanaan suatu tindakan (Martínez, Prada, Satler, Tavares & Tomaz, 2016).   

Terkait dengan siswa yang putus sekolah dari sekolah formal, hal ini terjadi gangguan dalam proses yang dijelaskan di atas.  Bagaimana seorang siswa tidak mampu mengikuti aturan yang ada di sekolah.Terkait apapun itu bentuknya, keluarga pun memiliki andil dalam pembentukan perilaku yang berwujud di sekolah.  Hal ini juga terkait tata kelola keuangan serta tata kelola perilaku yang terkait dengan keilmuan sosial dan ekonomi sehingga siswa mampu bersekolah. Jika seorang siswa dan keluarganya tidak memiliki kemampuan berstrategi yang baik sehingga dapat bertahan di sekolah formal, maka dapat dikatakan entitas sosial yaitu keluarga tersebut mengalami masalah.  Hal tersebut menyatu dalam bentuk keluarga yaitu ada orang tua dan anak. 

Oleh karena itu peran keluarga dalam pendidikan adalah penting.  Jangan dianggap sepele.  Pemerintahpun telah mengakomodir pendidikan di tingkatan keluarga dalam bentuk pendidikan informal yang dilembagakan dalam pendidikan non formal.  Oleh karena itu pendidikan di Indonesia sudah mencakup pendidikan formal yaitu sekolah, pendidikan non formal yaitu pendidikan kesetaraan dalam Paket A,B, dan C, serta pendidikan informal, yaitu di dalam keluarga. Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya mengakomodir keinginan dari masyarakat dan warga negaranya agar tidak ada anak tidak sekolah (ATS). 

Sehingga jika ada anak yang putus sekolah karena ada masalah dalam pengendalian diri dan pengaturan diri di sekolah formal, mereka tetap dapat bersekolah. Hal ini penting karena mereka harus memiliki ijasah agar dapat memiliki nilai kompetensi untuk bersaing di dunia kerja. Sangatlah naif jika bersaing di dunia kerja tidak memiliki sertifikasi dan hanya mengandalkan keterampilan otodidak saja. Karena lembaga formal baik perusahaan dan lembaga negara membutuhkan sebuah surat atau sertifikat yang menyatakan kemampuan yang dimilikinya memiliki standar baik secara nasional maupun internasional.  Hal ini dilakukan pemerintah penting untuk melindungi setiap warga negaranya yang ada di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu putus sekolah tidak menjadi alasan untuk tidak bersekolah. Program pendidikan kesetaraan telah dilakukan dari puluhan tahun lalu dan diakui setara dengan pendidikan formal dengan tingkatan SD, SMP, dan SMA.  Sudah saatnya ego pribadi dari keluarga dipinggirkan. Meskipun bersekolah internasional namun jika tidak tunduk dengan aturan negara, maka ijasah yang diperoleh tidak diakui oleh negara.  Hal ini amat menyakitkan karena berbagai lembaga pemerintah dan swasta meminta ijasah berstandar nasional dalam menerima karyawannya.  Jangan sampai ego sesaat membuat buah hati sengsara di kemudian hari hingga mengeluarkan uang yang lebih besar agar dapat bersekolah di tingkatan universitas di Indonesia dan atau bekerja di lembaga pemerintah dan swasta.

Referensi
Barkley, R. A. (2011). The important role of executive functioning and self-regulation in ADHD. Diambil dari  www.russellbarkley.org/factsheets/ADHD_EF_and_SR.pdf, Diakses 28 Maret 2017.
Martínez, L., Prada, E., Satler, C., Tavares M.C.H., & Tomaz, C. (2016). Executive dysfunctions: The role in Attention Deficit Hyperactivity and post-traumatic stress neuropsychiatric disorders. Front. Psychol., 7:1230. doi: 10.3389/fpsyg.2016.01230.
     



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel lainnya

Yuk Deteksi Dini Gangguan Belajar Anak! Layanan Pendidikan Inklusi di PKBM Kramat Pela

  Saat buah hati berusia sekolah dasar, maka mereka seharusnya memiliki kemampuan belajar yang baik.   Kesiapan belajar ini dipersiapkan d...

Artikel Populer